Selasa, 18 Juli 2017

Bayangan Keluarga di Balik Sebuah Korupsi



Ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi  mega proyek e-ktp membuat heboh berbagai kalangan masyarakat. Ada beberapa yang terkejut, dan sebagian juga berpikir itu adalah sebuah hal yang biasa saja.

Pada dasarnya korupsi sudah ada sejak lama. Pakar Epigrafi, Djoko Dwiyanti menyebutkan bahwa pada Zaman kerajaan Mataram Kuno dulunya juga sudah mengenal korupsi, hanya istilah dan penyebutannya saja yang   belum. Hal ini dilakukan pada pembayaran pajak untuk kerajaan yang misalnya 100, dibayarkan 80, dan 20 untuk menjamu petugas pajak. Walaupun dulunya korupsi tidak terlalu terekspose oleh raja tetapi hukuman yang diberikan berdampak hingga anak cucu. (inilahduniakita.net 09/08/2015).

Indonesia mungkin perlu belajar pada sistem pemberantasan korupsi seperti ini, tapi lagi-lagi kemungkinan hal itu bisa bertentangan dengan HAM, Agama, dll.

Peranan Keluarga
Budaya timur adalah budaya yang sosialis. Sebagai orang indonesia, mungkin budaya ketimuran sangat melekat dalam kehidupan kita. Misalnya, hubungan keluarga yang tetap harus kita nomor satukan. Jika tidak kita akan dikucilkan dan dianggap tidak beradap.

Budaya ini sebenarnya merupakan hal yang baik. Bagaimana sistem kekeluargaan dan kerukunan yang harus kita junjung tinggi dalam menjalani hidup. Hanya saja, terkadang terdapat ketimpangan yang terjadi dalam menerapkannya.

Ketika kalimat “keluarga” masuk dalam pemerintahan/pekerjaan, ini akan membuat posisi yang dilematis. Nah, Apa yang akan dilakukan para pemangku jabatan ketika “keluarga” sudah dilibatkan?. Disinilah idealisme seseorang akan teruji, dan adalah sebuah kemungkinkan profesionalisme akan menjadi taruhan dalam setiap keputusan yang diambil. Ketika kita sudah tidak lagi mengindahkan nilai keprofesionalan, maka peluang terjerumusnya seseorang dalam praktik korupsi sangat besar. Itu hanya sebagian besar tekanan yang ada, belum lagi tekanan atasan dan sifat hedonisme dalam diri kita yang bisa saja menggila dan mengatur kehidupan seseorang menjadi serakah akan jabatan, kekuasaan dan kekayaan.

Peranan keluarga dalam korupsi sangat besar. Di Nias, dikenal sebuah kiasan ketika seseorang sukses atau sudah menjabat akan menjadi “solohe tanga”. Dan hal ini juga sebagian besar terjadi di Indonesia. Dalam pandangan saya, “solohe tanga” dalam hal ini seharusnya mengayomi dan memberikan jalan pemikiran bagi sanak saudara agar mereka juga bisa sukses. Dan yang sering terjadi dalam pandangan masyarakat “solohe tanga” artinya ketika orang tersebut mempunyai jabatan maka sebagai keluarga dia adalah link untuk mendapat kursi jabatan dan lain sebagainya. Mereka menganggap bahwa ketika sanak saudara ada di pemerintah terlebih lagi jika berada di posisi yang bagus maka saudara tersebut harus dimanfaatkan seperti meminta untuk dijadikan PNS, kemudian menyogoknya, dan lain-lain.

Dalam beberapa kasus korupsi, ada saja korupsi yang melibatkan keluarga seperti kasus, M. Nazaruddin terpidana korupsi Wisma Atlet Hambalang dan Neneng Sriwahyuni yang terlibat kasus Pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Direktorat Jenderal Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2008 (vivanews.com, 14/03/2013). Kemudian, Mantan anggota DPR Zulkarnaen Djabar dan anaknya Dendy Prasetya yang terlibat kasus korupsi pengadaan Al-Qur’an di Kementerian agama (kompas.com, 17/02/2014). Dan kasus Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan adiknya Tubagus Chairi Wardhana yang terlibat kasus suap Pilkada terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (kompas.com, 01/09/2014).
Namun, sebenarnya walaupun belum terlibat secara utuh, banyak korupsi  lainnya juga disebabkan oleh keluarga. Sungguh miris melihat keluarga sebagai modal sosial dalam melawan korupsi, menjadi pendorong korupsi tersebut.

Disisi lain, perilaku konsumtif keluarga juga salah satu faktor penyebab korupsi. Gengsi dan pamor keluarga terkadang mengharuskan seseorang menggunakan uang yang bukan miliknya dalam memenuhi kebutuhan keluarga (Istri dan anak) yang terlalu mewah dan lupa diri.

Pemberantasan korupsi harus terus diperkuat. Kaluarga harus diberdayakan sebagai modal sosial untuk melawan korupsi. Pembelajaran dini bagi anak, saling mengingatkan dalam menjalankan tugas antara individu misalnya istri mengingatkan suami agar bekerja dengan baik atau istri mempertanyakan asal usul uang dari suami, hingga adanya budaya malu korupsi menjadi upaya keluarga daalam memberantas korupsi dan  harus terus digaungkan dan ditularkan kepada setiap keluarga di Indonesia. Karena keluarga adalah mitranya KPK dalam memberantas korupsi.

0 komentar