
Pada
dasarnya korupsi sudah ada sejak lama. Pakar Epigrafi, Djoko Dwiyanti
menyebutkan bahwa pada Zaman kerajaan Mataram Kuno dulunya juga sudah mengenal
korupsi, hanya istilah dan penyebutannya saja yang belum. Hal ini dilakukan pada pembayaran pajak
untuk kerajaan yang misalnya 100, dibayarkan 80, dan 20 untuk menjamu petugas
pajak. Walaupun dulunya korupsi tidak terlalu terekspose oleh raja tetapi
hukuman yang diberikan berdampak hingga anak cucu. (inilahduniakita.net 09/08/2015).
Indonesia
mungkin perlu belajar pada sistem pemberantasan korupsi seperti ini, tapi
lagi-lagi kemungkinan hal itu bisa bertentangan dengan HAM, Agama, dll.
Peranan Keluarga
Budaya
timur adalah budaya yang sosialis. Sebagai orang indonesia, mungkin budaya
ketimuran sangat melekat dalam kehidupan kita. Misalnya, hubungan keluarga yang
tetap harus kita nomor satukan. Jika tidak kita akan dikucilkan dan dianggap
tidak beradap.
Budaya
ini sebenarnya merupakan hal yang baik. Bagaimana sistem kekeluargaan dan
kerukunan yang harus kita junjung tinggi dalam menjalani hidup. Hanya saja,
terkadang terdapat ketimpangan yang terjadi dalam menerapkannya.
Ketika
kalimat “keluarga” masuk dalam pemerintahan/pekerjaan, ini akan membuat posisi
yang dilematis. Nah, Apa yang akan dilakukan para pemangku jabatan ketika
“keluarga” sudah dilibatkan?. Disinilah idealisme seseorang akan teruji, dan
adalah sebuah kemungkinkan profesionalisme akan menjadi taruhan dalam setiap
keputusan yang diambil. Ketika kita sudah tidak lagi mengindahkan nilai keprofesionalan,
maka peluang terjerumusnya seseorang dalam praktik korupsi sangat besar. Itu
hanya sebagian besar tekanan yang ada, belum lagi tekanan atasan dan sifat
hedonisme dalam diri kita yang bisa saja menggila dan mengatur kehidupan
seseorang menjadi serakah akan jabatan, kekuasaan dan kekayaan.
Peranan
keluarga dalam korupsi sangat besar. Di Nias, dikenal sebuah kiasan ketika seseorang
sukses atau sudah menjabat akan menjadi “solohe tanga”. Dan hal ini juga
sebagian besar terjadi di Indonesia. Dalam pandangan saya, “solohe tanga” dalam
hal ini seharusnya mengayomi dan memberikan jalan pemikiran bagi sanak saudara
agar mereka juga bisa sukses. Dan yang sering terjadi dalam pandangan masyarakat
“solohe tanga” artinya ketika orang tersebut mempunyai jabatan maka sebagai
keluarga dia adalah link untuk mendapat kursi jabatan dan lain sebagainya.
Mereka menganggap bahwa ketika sanak saudara ada di pemerintah terlebih lagi
jika berada di posisi yang bagus maka saudara tersebut harus dimanfaatkan
seperti meminta untuk dijadikan PNS, kemudian menyogoknya, dan lain-lain.
Dalam beberapa kasus korupsi, ada
saja korupsi yang melibatkan keluarga seperti kasus, M. Nazaruddin terpidana
korupsi Wisma Atlet Hambalang dan Neneng Sriwahyuni yang terlibat kasus
Pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Direktorat Jenderal
Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi tahun 2008 (vivanews.com, 14/03/2013). Kemudian, Mantan
anggota DPR Zulkarnaen Djabar dan anaknya Dendy Prasetya yang terlibat kasus
korupsi pengadaan Al-Qur’an di Kementerian agama (kompas.com, 17/02/2014). Dan
kasus Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan adiknya Tubagus Chairi Wardhana
yang terlibat kasus suap Pilkada terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Akil Mochtar (kompas.com, 01/09/2014).
Namun,
sebenarnya walaupun belum terlibat secara utuh, banyak korupsi lainnya juga disebabkan oleh keluarga.
Sungguh miris melihat keluarga sebagai modal sosial dalam melawan korupsi,
menjadi pendorong korupsi tersebut.
Disisi
lain, perilaku konsumtif keluarga juga salah satu faktor penyebab korupsi.
Gengsi dan pamor keluarga terkadang mengharuskan seseorang menggunakan uang
yang bukan miliknya dalam memenuhi kebutuhan keluarga (Istri dan anak) yang
terlalu mewah dan lupa diri.
Pemberantasan
korupsi harus terus diperkuat. Kaluarga harus diberdayakan sebagai modal sosial
untuk melawan korupsi. Pembelajaran dini bagi anak, saling mengingatkan dalam
menjalankan tugas antara individu misalnya istri mengingatkan suami agar
bekerja dengan baik atau istri mempertanyakan asal usul uang dari suami, hingga
adanya budaya malu korupsi menjadi upaya keluarga daalam memberantas korupsi
dan harus terus digaungkan dan
ditularkan kepada setiap keluarga di Indonesia. Karena keluarga adalah mitranya
KPK dalam memberantas korupsi.
0 komentar